arief basari

Sang Protokoler


dalam menerus kan tulisan rekan ku "septria yanto"

Pakai Sandal Jepit, Kasdi Gagal Minta Keadilan di MA

Kasdi, seorang bapak berusia 51 tahun asal Desa Dukuh Babadan, Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak, Jawa Tengah, mendatangi Mahkamah Agung untuk mengajukan kasasi bagi anaknya yang divonis lima tahun penjara atas dakwaan kepemilikan narkoba.
Kasdi mengatakan anaknya yang berusia 24 tahun, Sarmidi, dijebak atas kepemilikan narkoba oleh seorang temannya yang bernama Afianto, seorang polisi di Semarang. Sarmidi ditangkap tanggal 12 Desember 2011 dan divonis oleh Pengadilan Negeri Semarang atas narkoba yang, menurut Kasdi, bukan milik anaknya itu.
“Anak saya disuruh beli ganja oleh temannya, Afianto. Anak saya tidak mau, tapi teman Afianto pinjam ponsel anak saya untuk menelepon penjual ganja. Tidak lama kemudian, anak saya malah ditangkap oleh polisi dan langsung ditahan. Anak saya sudah satu tahun lebih ditangkap. Saya datang ke Jakarta ini untuk menuntut keadilan,” ujar Kasdi di halaman gedung MA, Kamis 13 Desember 2012.
Malang nasib Kasdi. Setelah menjual sepeda ontel dan ayamnya untuk membeli tiket kereta ekonomi dari Demak ke Jakarta, ia dan keluarganya tidak diperbolehkan masuk ke gedung MA oleh petugas keamanan. Alasannya, Kasdi tidak memakai sepatu dan kemeja. Kasdi yang berjalan kaki dari Stasiun Pasar Senen ke gedung MA itu memang hanya memakai sandal jepit.
Dengan mata berkaca-kaca, Kasdi pun mengungkapkan kekecewaannya terhadap aparat hukum di Indonesia. Ia mengatakan, ia sampai menjual rumahnya seharga Rp9 juta untuk memperjuangkan keadilan bagi anaknya yang ditahan polisi. Bahkan kini ia sudah tidak punya uang dan harta benda lagi karena ayam dan sepeda ontelnya juga telah dijual untuk ongkos ke gedung MA.
“Anak saya yang ditahan polisi itu tulang punggung keluarga. Dia kerja di pabrik pemotongan kayu di Semarang dengan gaji Rp29 ribu per hari. Dia bantu saya mencari ikan di rawa kalau malam,” kata Kasdi.
Kasdi mengaku telah berjuang ke sana-sini untuk memperjuangkan keadilan bagi anaknya, mulai dari mengajukan banding sampai berusaha mengajukan kasasi. Ia mengaku pernah mendatangi DPRD Semarang dan minta bantuan hukum ke Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, namun tidak ada perkembangan signifikan.
“Saya sudah datang ke DPRD Semarang tanggal 27 Juli 2012. Saya juga sudah mengajukan banding ke Pengadilan Negeri. Saya juga lapor juga ke Propam Polda Jateng karena anak saya menerima kekerasan dan dipaksa mengaku salah. Semua bilang kasusnya masih diproses terus, dan saya disuruh tunggu saja di rumah,” ucap Kasdi.
Saat ini Kasdi bersama keluarganya yang terkatung-katung di Jakarta diarahkan oleh para wartawan untuk menemui Ketua YLBHI, Alfon Kurnia Palma, dengan harapan YLBHI bisa membantu proses hukum anak Kasdi, Sarmidi. Kasdi pun dicarikan bajaj oleh wartawan untuk menuju ke kantor YLBHI di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat. (vivanews/13/12/12)Dan pemerintah (birokrasi) dengan segala protokolernya sampai sekarang cenderung jauh dari rakyat. Sebagai seorang pemimpin, bagaimana mungkin “mereka” tahu apa yang dibutuhkan oleh yang dipimpinnya, jika mereka tidak dekat dengan apa yang dipimpinnya. Sebagaimana yang telah kita ketahui bersama, untuk menemui seorang pejabat publik yang terhormat, kita diharuskan untuk mengikuti protokoler-protokoler yang ditetapkan tanpa ada pengecualian. Jika tidak mengikuti hal tersebut, maka kita tidak akan bisa menyampaikan apa yang akan kita sampaikan. Selain itu, segala praktek tersebut juga dilegitimasi oleh keadaan rakyat Indonesia yang tidak mempunyai critical thinking, yang disebabkan oleh banyaknya dogmatisme (kepercayaan) di Indonesia, dari agama, budaya, dan dogma-dogma lain yang dipaksakan oleh orang tua kita untuk dipercaya. Sekarang ini, ada banyak hal yang menyebabkan manusia lebih membutuhkan pedoman dibandingkan masa-masa sebelumnya. Semakin hari kehidupan semakin kompleks, dan arusnya telah merusak sendi-sendi berbangsa dan bernegara. Sudah seharusnyalah pemerintah memberikan contoh kepada rakyat tentang bagaimana bersikap sebagai seorang warga negara republik ini dan bukan hanya bersembunyi di belakang protokoler-protokolernya. Berbanding terbalik dengan cerita seberang, orang-orang Teheran menemukan Ahmadinejad sebagai sosok pejabat yang justru bangga menyapu sendiri jalan-jalan kota. Gatal tangannya bila melihat ada selokan kota mampet, merasa lebih nyaman menyetir sendiri mobilnya ke kantor dan memilih kerja hingga dini hari sekadar memastikan Ibu Kota Iran ini lebih nyaman ditinggali [Muhsin Labib]



>>> Dan apakah kita merasa memiliki yang namanya Negara Republik Indonesia sayang?

>>> Dan saya juga teringat ketika dengan Arief Muhammad Basari menemui Rektor untuk melapor [bahasa kasarnya minta uang] bahwa kami akan ke Samarinda untuk sebuah acara, kira-kira kejadiannya nyaris mirip, saya yang berambut gondrong dengan sendal jepit dan tembuslah sebesar 250.000 rupiah untuk empat orang. Hahahaha... jika di dalam institusi ini aja begini, tentu di sana lebih dan lebih...





Betul kawan,,

Masih tragedi dikampus yang kata orang megah itu kawan.. yang pernah kualami dan masih membekas dalam benak ini ketika hendak melakukan pembayaran SPP. karena sistem portal yang diterapkan aku tak dapat membayar SPP dan disarankan untuk mengambil cuti. ( ndak usah selah ang kuliah lai) itu nan ndak ka dikecek an nyo

tidak menerima alasan apapun dan pertimbangan apapun. co pikia, kampus seperti apa yang tega melakukan hal ini pada mahasiswa nya. atau mungkin hal ini sudah menjadi sebuah kewajaran bagi tiap kampus. alasan keterlambatan ku adalah karena aku harus ke jakarta melihat Ayahku yang meninggal. Alah, kalian samo sen sadonyo, pandai bana mancari alasan "itu kecek paja tu" lah mode inyo bana punyo nagari ko.

yo baa juo lai, ditunggu selah binasanyo paja tu sep..hahahahahaha




Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. basari.news - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger