arief basari

Featured Post Today
print this page
Latest Post

REFORMASI BIROKRASI "OTONOMI DAN PEMERINTAH DAERAH"

(Dikutip dari buku “Reinventing Local Government: Pengalaman dari Daerah”, Bab 8 Reformasi Birokrasi Pemerintah Daerah, hlm 189)


Waktu pertama kali memasuki dunia pemerintahan, saya melihat sebuah kontras kebiasaan kerja. Saya membandingkan pola kerja yang berbeda antara pegawai negeri dan pegawai swasta. Kinerja pegawai bank yang berada di lini depan (front office) yang cekatan, tidak pernah berhenti melayani pelanggan, selalu ramah dan murah senyum berbeda sekali dengan kinerja pegawai negeri yang melayani masyarakat. Dalam pikiran saya ini adalah contoh ideal yang kasatmata yang mestinya dapat dicangkokkan pada birokrasi pemerintah daerah.

Pikiran ini yang terus mengganggu saya, bagaimana melakukan pembenahan pada sistem kepegawaian daerah sehingga mereka memiliki etos kerja yang tinggi. Sebagai orang yang lama berkecimpung pada sektor dunia usaha, saya terbiasa dengan sistem insentif untuk meningkatkan kinerja pegawai. Siapa yang berkinerja lebih baik maka akan mendapatkan insentif yang lebih besar.

Sejalan dengan pemikiran Vroom (1946) bahwa kinerja itu dipengaruhi oleh interaksi dua faktor, yaitu kemampuan dan motivasi. Saya berpandangan bahwa penghasilan merupakan salah satu komponen penting yang berperan dalam membentuk motivasi. Langkah pertama yang saya lakukan adalah melihat peraturan penggajian pegawai negeri sipil. Saya melihat ada sekelompok pegawai negeri di lingkungan Pemerintah Provinsi Gorontalo yang cukup makmur, terutama para pejabat eselon, tetapi sebagian besar pegawai negeri lainnya hidup bersahaja. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No.26 Tahun 2001 ternyata gaji pegawai negeri tidak-lah besar. Gaji pokok terendah adalah Rp575.000, yaitu golongan IA dan gaji pokok tertinggi Rp1,8 juta (golongan IVE) masing-masing per bulan. Berdasarkan gaji pokok yang mereka terima dapat dipastikan kehidupan pegawai negeri sangat bersahaja.

Pikiran yang mengusik adalah adanya sejumlah pegawai negeri yang relatif makmur terutama pejabat struktural, lalu saya mencari tahu sumber-sumber penghasilan lain pegawai negeri yang sah menurut peraturan perundangan yang berlaku. Tunjangan jabatan adalah salah satu sumber penghasilan pegawai negeri, saya ingin tahu besarnya tunjangan jabatan struktural dari eselon I sampai dengan eselon IV. Jabatan struktural tertinggi pada tingkat provinsi adalah Sekretaris Daerah dengan golongan IB berhak mendapatkan tunjangan jabatan sebesar Rp4.475.000 per bulan. Sedangkan tunjangan jabatan struktural untuk eselon yang lebih rendah adalah: IIA Rp3.250.000, IIB Rp2.025.000, IIIA 1.260.000, IVA Rp540.000, dan IVB Rp490.000.

Dengan tunjangan sebesar itu pun, pegawai yang mendapat tunjangan struktural tidak akan semakmur yang saya lihat. Saya waktu itu sangat naïf dalam melihat penghasilan pegawai negeri sipil. Rupanya di lingkungan pegawai negeri sipil ada istilah jabatan basah dan jabatan kering. Ini dikaitkan dengan jumlah proyek yang dikelola oleh masing-masing dinas. Semakin banyak proyek yang dikelola maka semakin besar peluang pejabat untuk mendapatkan penghasilan tambahan melalui honorarium yang mereka terima.

Pada awal saya memangku jabatan gubernur, saya sering mendapatkan amplop berisi uang yang katanya honorarium proyek. Saya tanyakan kepada Sekda uang itu berasal dari mana dan untuk apa? Katanya honorarium proyek, dan itu sah. Saya tidak habis pikir, uang yang saya terima itu kalo dijumlahkan lumayan besar. Saya pun menelisik ingin tahu. Rupanya dalam pengelolaan proyek tersebut dibenarkan adanya honorarium untuk panitia pelaksana proyek.

Saya ambil contoh misalnya proyek rehabilitasi dan pembangunan irigasi untuk meningkatkan produktivitas tanaman pangan. Nilai proyek Rp2 miliar.Rupanya sebelum proyek di laksanakan dibuat dulu panitia pelaksana proyek tersebut. Dalam kepanitiaan tersebut ditetapkan jumlah personalia, jabatan, dan besarnya honorarium. Dibentuklah Pimpinan Proyek, Bendahara Proyek, Tenaga Ahli, Pengawas, dan sebagainya. Misalnya Pimpinan Proyek mendapat honorarium Rp2,5 juta, untuk Kepala Dinas sebagai pengawas mendapat honorarium Rp3,5 juta, Sekretaris Daerah mendapat Rp5 juta, Wakil Gubernur Rp7 juta, dan Gubernur Rp9 juta. Selain honorarium proyek juga membutuhkan laptop, mobil operasional, dan kebutuhan lain-lain. Setelah dijumlahkan ternyata anggaran yang dihabiskan untuk urusan yang bukan inti mencapai hampir 40% dari nilai proyek. Sedangkan yang dibelanjakan sesuai dengan kebutuhan proyek hanya sekitar 60%. Akhirnya banyak proyek yang tidak efektif, efisien, tidak ekonomis, dan relevansinya untuk memecahkan persoalan yang dihadapi rakyat sangat rendah.

Proyek-proyek seperti itu banyak sekali dan uang hanya mengalir kepada sejumlah kecil pegawai, maka ada istilah jabatan basah dan jabatan kering. Hal ini menyebabkan adanya gap di kalangan pegawai. Ini tidak baik bagi terbentuknya faktor hygiene kerja.

Saya cepat mengambil keputusan, segala bentuk kegiatan tidak lagi dalam bentuk proyek tetapi menjadi tanggung jawab kepala dinas, honor-honor proyek saya hapuskan sebagai gantinya honor itu dipusatkan pada suatu tempat dan nantinya digunakan sebagai insentif bagi pegawai yang berkinerja baik.

Saya mempunyai obsesi membuat sistem pengupahan pegawai pada Pemerintahan Provinsi Gorontalo berbasis kinerja. Selain gaji pokok, semua pegawai akan mendapatkan tunjangan kinerja jika mampu menunjukan kinerja yang baik sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan. Besaran gaji bergeser dari sesuatu yang tetap (seperti yang dipraktikan selama ini) ke sesuatu yang bervariasi berdasarkan produktivitas karyawan.

Secara umum, sistem penggajian semacam ini dipandang sebagai komponen kunci untuk meningkatkan dan mempertahankan motivasi, kinerja, dan integritas pelayanan publik. Semakin tinggi kontribusi karyawan terhadap organisasi, semakin tinggi pula insentif yang diterimanya. Akibatnya, kinerja instansi membaik. Kemampuan pegawai dalam memenuhi kebutuhan hidupnya juga akan meningkat.

Gagasan pengupahan berdasarkan prestasi sudah lama menjadi perhatian UNPAN (badan PBB yang menangani persoalan administrasi publik). Department of Economic and Social Affairs of the United Nations mencantumkan Sistem Penggajian Berbasis Kinerja (SPBK) sebagai salah satu rekomendasinya untuk pemerintah negara sedanga berkembang yang tengah menjalani transisi perekonomian. Rekomendasi ini tercantum pada World Public Sector Report 2005. Menurut UNISON (1991), dalam praktiknya, SPBK berkembang ke dalam tujuh variasi. Yang populer diterapkan di lingkup pegawai negeri di banyak negara adalah pemberian bonus dan penemuan besaran gaji berdasarkan asesmen yang membandingkan kinerja karyawan (baik secara individual maupun kelompok) dengan target yang telah ditetapkan organisasi. Cara ini tumbuh pesat sejak 1980-an.

Implementasi SPBK tidaklah mudah. Persoalan yang mengemuka adalah yang berkaitan dengan keterbatasan kemampuan atasan dalam menilai kinerja para bawahan. Jika tidak ada kriteria penilaian yang objektif dapat berpengaruh buruk terhadap moral kerja karyawan. SPBK juga menuntut adanya pemahaman dan penerimaan para karyawan tentang aturan mainnya yang kompleks. Ini membutuhkan kapasitas manajemen yang memadai terutama dalam hal komunikasi. Oleh karena memetakan kinerja pada masing-masing SPKD bukan pekerjaan yang mudah.

Penerapan SPBK yang tidak disiapkan dengan matang justru akan mengembangkan kebiasaan kasak-kusuk yang berujung pada munculnya syak wasangka antar karyawan sebagai salah satu ciri birokrasi politis. Meskipun pada awalnya karyawan merasakan adanya control atasan (control system) yang lebih ketat menyusul dilakukannya penilaian terhadap kerja mereka, iklim komunikasi yang suram malah mendorong karyawan untuk kemudian tidak lagi melihat korelasi antara insentif dan performa yang mereka tampilkan, akan tetapi lebih melihatnya sebagai hasil hubungan personal yang kolutif dengan pihak penilai kinerja.

Sistem penggajian berbasis kinerja individual ini juga berpotensi menurunkan arti penting kerja kelompok, sekaligus menyimpang perhatian karyawan untuk lebih terfokus pada pengembangan diri pribadi, dan pencapaian-pencapaian jangka pendek ketimbang pemberdayaan kolektif dan realisasi tujuan jangka panjang organisasi.

Agar SPBK yang mewujud ke dalam Tunjangan Kinerja Daerah itu tidak menimbulkan ekses negatif maka disiapkan kajian akademis dan payung hukum yang melandasi TKD. Untuk kajian akademis, saya minta bantuan kepada Fakultas Ilmu Sosial Politik, Universitas Gadjah Mada yang membuat instrumen pengukuran kinerja pegawai.

Penerapan TKD adalah satu rangkaian dari sebuah agenda besar Pemerintahan Provinsi Gorontalo yaitu melakukan Reformasi Birokrasi Daerah. Sejalan dengan visi Pemerintah Provinsi Gorontalo yang menginjeksi spirit kewirausahaan dalam penyelenggaraan pemerintah, maka agenda pertama yang dilakukan adalah diterapkan anggaran berbasis kinerja. Ini membawa konsekuensi bahwa prestasi kerja dari setiap pejabat/pegawai dinilai berdasarkan kinerja.

Hal penting yang menjadi perhatian dalam memberikan TKD adalah tidak membebani anggaran. Setelah melalui kajian dari Badan Keuangan Daerah, Badan Kepegawaian dan Sekretariat Provinsi Gorontalo maka pada tahun 2004 mulai diberlakukan TKD kepada seluruh pegawai termasuk yang berstatus honorer. Upaya untuk mengaitkan insentif dengan kinerja menjadi contoh bagaimana manajemen kewirausahaan dapat diterapkan dalam kehidupan birokrasi pemerintah di daerah. Pemberian insentif sebagai driving force untuk perubahan dalam birokrasi publik.

Sumber dana untuk membiayai tunjangan kinerja dilakukan dengan menghapuskan seluruh bentuk honor yang terdapat pada setiap kegiatan. Menghapus seluruh honor pada setiap kegiatan implementasinya tidak mudah. Keberhasilan Provinsi Gorontalo menerapkan tunjangan kinerja karena adanya political will pimpinan daerah yaitu gubernur, wakil gubernur, sekretaris daerah, dan seluruh jajarannya dalam bentuk melepaskan/mengiklaskan seluruh jenis honor yang diterima setiap bulan yang selanjutnya dana tersebut dibayarkan kepada seluruh pegawai dalam bentuk TKD. Keberhasilan penerapan TKD di Provinsi Gorontalo juga berkat adanya dukungan dari DPRD.

Dasar hukum penerapan TKD terdapat pada Pasal 29 Ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 105 tahun 2000 tentang pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan daerah selanjutnya dipertegas kembali melalui Pasal 36 Ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 58 tahun 2005 menyatakan pemerintah daerah dapat memberikan tambahan penghasilan kepada pegawai negeri sipil daerah berdasarkan pertimbangan yang objektif dengan memperhatikan kemampuan keuangan daerah dan memperoleh persetujuan DPRD. Tambahan penghasilan diberikan dalam rangka peningkatan kesejahteraan pegawai berdasarkan prestasi kerja, tempat bertugas, kondisi kerja, dan kelangkaan profesi.

Sejak diterapkan tunjangan kinerja sejak tahun 2004 sistem penilaian kinerja sudah masuk tahap keempat. Pada saat pertama kali diterapkan kinerja pegawai dinilai berdasarkan disiplin berdasarkan disiplin dengan unsur-unsur pengurangan sebagai berikut:

   1. Terlambat masuk kantor,
   2. Pulang lebih cepat ke rumah,
   3. Tidak masuk kerja,
   4. Meninggalkan tugas selama jam kerja tanpa izin,
   5. Tidak mengikuti kegiatan kenegaraan/rapat/senam bersama, dan
   6. Dikenakan sanksi sesuai PP 30 tahun 1980.

Masing-masing unsur pengurangan tersebut diberi bobot. Dengan sistem tersebut terhadap pegawai yang tidak melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada poin 1 sampai 6 kinerjanya 100%. Dengan sistem tersebut disiplin pegawai meningkat.

Pada tahap kedua yang mulai diterapkan tahun 2005 besarnya TKD untuk suatu masa kinerja dihitung atas dasar komponen disiplin dengan bobot 60% dan komponen pencapaian kinerja 40%. Unsur-unsur pengurangan disiplin tidak mengalami perubahan. Komponen pencapaian kinerja unsur-unsurnya terdiri dari:

   1. Pemahaman atas tufoksi,
   2. Inovasi,
   3. Kecepatan kerja,
   4. Keakuratan kerja, dan
   5. Kerja sama.


Tabel Penilaian Kerja Pada Komponen Pencapaian Kinerja

Mulai tahun 2006 nilai komponen pencapaian kinerja dinaikan menjadi 60% sehingga unsur disiplin tinggal 40%.


Pada akhir tahun 2007 dilakukan perubahan atas penilaian kinerja. Penilaian kinerja untuk status mas akinerja didasarkan pada komponen prestasi aksi dan prestasi hasil. Komponenprestasi aksi memiliki bobot 40% terdiri dari:

   1. Disiplin,
   2. Ketaatan terhadap peraturan,
   3. Tanggung jawab, dan
   4. Kerja sama.

Komponen prestasi hasil memiliki bobot 60% terdiri dari:

   1. Produktivitas,
   2. Efektivitas
   3. Efisiensi,
   4. Inovasi, dan
   5. Manfaat.

Penilaian atas masing-masing komponen tersebut menghasilkan skor prestasi sebagai berikut:

    * Skor prestasi A nilai 5,
    * Skor prestasi B nilai 4,
    * Skor prestasi C nilai 3,
    * Skor prestasi D nilai 2,
    * Skor prestasi E nilai 1.

Dengan penerapan sistem tersebut penilaian kinerja untuk satu masa kinerja dilakukan oleh:

   1. Atasan langsung bobot 50%,
   2. Dua orang rekan kerja masing-masing bobot 15%, dan
   3. Pegawai yang dinilai 20%.

Terakhir dengan dikeluarkannya PP Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Sipil dan dengan PP Nomor 46 tahun 2011 tentang Sasaran Kinerja Pegawai dan Kemudian yang menjadi induk dari kepegawaian itu sendiri yang bersumber dari UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, menekan kegiatan pegawai pada penerapan disiplin tingkat tinggi, yang dikelilingi dengan kontrak kerja yang harus menjadi sasaran dalam setiap bekerja dan dihitung akan keberhasilannya diakhir tahun.

0 komentar
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. basari.news - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger