arief basari

Featured Post Today
print this page
Latest Post
Tampilkan postingan dengan label ADMINISTRASI NEGARA. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ADMINISTRASI NEGARA. Tampilkan semua postingan

REFORMASI BIROKRASI "OTONOMI DAN PEMERINTAH DAERAH"

(Dikutip dari buku “Reinventing Local Government: Pengalaman dari Daerah”, Bab 8 Reformasi Birokrasi Pemerintah Daerah, hlm 189)


Waktu pertama kali memasuki dunia pemerintahan, saya melihat sebuah kontras kebiasaan kerja. Saya membandingkan pola kerja yang berbeda antara pegawai negeri dan pegawai swasta. Kinerja pegawai bank yang berada di lini depan (front office) yang cekatan, tidak pernah berhenti melayani pelanggan, selalu ramah dan murah senyum berbeda sekali dengan kinerja pegawai negeri yang melayani masyarakat. Dalam pikiran saya ini adalah contoh ideal yang kasatmata yang mestinya dapat dicangkokkan pada birokrasi pemerintah daerah.

Pikiran ini yang terus mengganggu saya, bagaimana melakukan pembenahan pada sistem kepegawaian daerah sehingga mereka memiliki etos kerja yang tinggi. Sebagai orang yang lama berkecimpung pada sektor dunia usaha, saya terbiasa dengan sistem insentif untuk meningkatkan kinerja pegawai. Siapa yang berkinerja lebih baik maka akan mendapatkan insentif yang lebih besar.

Sejalan dengan pemikiran Vroom (1946) bahwa kinerja itu dipengaruhi oleh interaksi dua faktor, yaitu kemampuan dan motivasi. Saya berpandangan bahwa penghasilan merupakan salah satu komponen penting yang berperan dalam membentuk motivasi. Langkah pertama yang saya lakukan adalah melihat peraturan penggajian pegawai negeri sipil. Saya melihat ada sekelompok pegawai negeri di lingkungan Pemerintah Provinsi Gorontalo yang cukup makmur, terutama para pejabat eselon, tetapi sebagian besar pegawai negeri lainnya hidup bersahaja. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No.26 Tahun 2001 ternyata gaji pegawai negeri tidak-lah besar. Gaji pokok terendah adalah Rp575.000, yaitu golongan IA dan gaji pokok tertinggi Rp1,8 juta (golongan IVE) masing-masing per bulan. Berdasarkan gaji pokok yang mereka terima dapat dipastikan kehidupan pegawai negeri sangat bersahaja.

Pikiran yang mengusik adalah adanya sejumlah pegawai negeri yang relatif makmur terutama pejabat struktural, lalu saya mencari tahu sumber-sumber penghasilan lain pegawai negeri yang sah menurut peraturan perundangan yang berlaku. Tunjangan jabatan adalah salah satu sumber penghasilan pegawai negeri, saya ingin tahu besarnya tunjangan jabatan struktural dari eselon I sampai dengan eselon IV. Jabatan struktural tertinggi pada tingkat provinsi adalah Sekretaris Daerah dengan golongan IB berhak mendapatkan tunjangan jabatan sebesar Rp4.475.000 per bulan. Sedangkan tunjangan jabatan struktural untuk eselon yang lebih rendah adalah: IIA Rp3.250.000, IIB Rp2.025.000, IIIA 1.260.000, IVA Rp540.000, dan IVB Rp490.000.

Dengan tunjangan sebesar itu pun, pegawai yang mendapat tunjangan struktural tidak akan semakmur yang saya lihat. Saya waktu itu sangat naïf dalam melihat penghasilan pegawai negeri sipil. Rupanya di lingkungan pegawai negeri sipil ada istilah jabatan basah dan jabatan kering. Ini dikaitkan dengan jumlah proyek yang dikelola oleh masing-masing dinas. Semakin banyak proyek yang dikelola maka semakin besar peluang pejabat untuk mendapatkan penghasilan tambahan melalui honorarium yang mereka terima.

Pada awal saya memangku jabatan gubernur, saya sering mendapatkan amplop berisi uang yang katanya honorarium proyek. Saya tanyakan kepada Sekda uang itu berasal dari mana dan untuk apa? Katanya honorarium proyek, dan itu sah. Saya tidak habis pikir, uang yang saya terima itu kalo dijumlahkan lumayan besar. Saya pun menelisik ingin tahu. Rupanya dalam pengelolaan proyek tersebut dibenarkan adanya honorarium untuk panitia pelaksana proyek.

Saya ambil contoh misalnya proyek rehabilitasi dan pembangunan irigasi untuk meningkatkan produktivitas tanaman pangan. Nilai proyek Rp2 miliar.Rupanya sebelum proyek di laksanakan dibuat dulu panitia pelaksana proyek tersebut. Dalam kepanitiaan tersebut ditetapkan jumlah personalia, jabatan, dan besarnya honorarium. Dibentuklah Pimpinan Proyek, Bendahara Proyek, Tenaga Ahli, Pengawas, dan sebagainya. Misalnya Pimpinan Proyek mendapat honorarium Rp2,5 juta, untuk Kepala Dinas sebagai pengawas mendapat honorarium Rp3,5 juta, Sekretaris Daerah mendapat Rp5 juta, Wakil Gubernur Rp7 juta, dan Gubernur Rp9 juta. Selain honorarium proyek juga membutuhkan laptop, mobil operasional, dan kebutuhan lain-lain. Setelah dijumlahkan ternyata anggaran yang dihabiskan untuk urusan yang bukan inti mencapai hampir 40% dari nilai proyek. Sedangkan yang dibelanjakan sesuai dengan kebutuhan proyek hanya sekitar 60%. Akhirnya banyak proyek yang tidak efektif, efisien, tidak ekonomis, dan relevansinya untuk memecahkan persoalan yang dihadapi rakyat sangat rendah.

Proyek-proyek seperti itu banyak sekali dan uang hanya mengalir kepada sejumlah kecil pegawai, maka ada istilah jabatan basah dan jabatan kering. Hal ini menyebabkan adanya gap di kalangan pegawai. Ini tidak baik bagi terbentuknya faktor hygiene kerja.

Saya cepat mengambil keputusan, segala bentuk kegiatan tidak lagi dalam bentuk proyek tetapi menjadi tanggung jawab kepala dinas, honor-honor proyek saya hapuskan sebagai gantinya honor itu dipusatkan pada suatu tempat dan nantinya digunakan sebagai insentif bagi pegawai yang berkinerja baik.

Saya mempunyai obsesi membuat sistem pengupahan pegawai pada Pemerintahan Provinsi Gorontalo berbasis kinerja. Selain gaji pokok, semua pegawai akan mendapatkan tunjangan kinerja jika mampu menunjukan kinerja yang baik sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan. Besaran gaji bergeser dari sesuatu yang tetap (seperti yang dipraktikan selama ini) ke sesuatu yang bervariasi berdasarkan produktivitas karyawan.

Secara umum, sistem penggajian semacam ini dipandang sebagai komponen kunci untuk meningkatkan dan mempertahankan motivasi, kinerja, dan integritas pelayanan publik. Semakin tinggi kontribusi karyawan terhadap organisasi, semakin tinggi pula insentif yang diterimanya. Akibatnya, kinerja instansi membaik. Kemampuan pegawai dalam memenuhi kebutuhan hidupnya juga akan meningkat.

Gagasan pengupahan berdasarkan prestasi sudah lama menjadi perhatian UNPAN (badan PBB yang menangani persoalan administrasi publik). Department of Economic and Social Affairs of the United Nations mencantumkan Sistem Penggajian Berbasis Kinerja (SPBK) sebagai salah satu rekomendasinya untuk pemerintah negara sedanga berkembang yang tengah menjalani transisi perekonomian. Rekomendasi ini tercantum pada World Public Sector Report 2005. Menurut UNISON (1991), dalam praktiknya, SPBK berkembang ke dalam tujuh variasi. Yang populer diterapkan di lingkup pegawai negeri di banyak negara adalah pemberian bonus dan penemuan besaran gaji berdasarkan asesmen yang membandingkan kinerja karyawan (baik secara individual maupun kelompok) dengan target yang telah ditetapkan organisasi. Cara ini tumbuh pesat sejak 1980-an.

Implementasi SPBK tidaklah mudah. Persoalan yang mengemuka adalah yang berkaitan dengan keterbatasan kemampuan atasan dalam menilai kinerja para bawahan. Jika tidak ada kriteria penilaian yang objektif dapat berpengaruh buruk terhadap moral kerja karyawan. SPBK juga menuntut adanya pemahaman dan penerimaan para karyawan tentang aturan mainnya yang kompleks. Ini membutuhkan kapasitas manajemen yang memadai terutama dalam hal komunikasi. Oleh karena memetakan kinerja pada masing-masing SPKD bukan pekerjaan yang mudah.

Penerapan SPBK yang tidak disiapkan dengan matang justru akan mengembangkan kebiasaan kasak-kusuk yang berujung pada munculnya syak wasangka antar karyawan sebagai salah satu ciri birokrasi politis. Meskipun pada awalnya karyawan merasakan adanya control atasan (control system) yang lebih ketat menyusul dilakukannya penilaian terhadap kerja mereka, iklim komunikasi yang suram malah mendorong karyawan untuk kemudian tidak lagi melihat korelasi antara insentif dan performa yang mereka tampilkan, akan tetapi lebih melihatnya sebagai hasil hubungan personal yang kolutif dengan pihak penilai kinerja.

Sistem penggajian berbasis kinerja individual ini juga berpotensi menurunkan arti penting kerja kelompok, sekaligus menyimpang perhatian karyawan untuk lebih terfokus pada pengembangan diri pribadi, dan pencapaian-pencapaian jangka pendek ketimbang pemberdayaan kolektif dan realisasi tujuan jangka panjang organisasi.

Agar SPBK yang mewujud ke dalam Tunjangan Kinerja Daerah itu tidak menimbulkan ekses negatif maka disiapkan kajian akademis dan payung hukum yang melandasi TKD. Untuk kajian akademis, saya minta bantuan kepada Fakultas Ilmu Sosial Politik, Universitas Gadjah Mada yang membuat instrumen pengukuran kinerja pegawai.

Penerapan TKD adalah satu rangkaian dari sebuah agenda besar Pemerintahan Provinsi Gorontalo yaitu melakukan Reformasi Birokrasi Daerah. Sejalan dengan visi Pemerintah Provinsi Gorontalo yang menginjeksi spirit kewirausahaan dalam penyelenggaraan pemerintah, maka agenda pertama yang dilakukan adalah diterapkan anggaran berbasis kinerja. Ini membawa konsekuensi bahwa prestasi kerja dari setiap pejabat/pegawai dinilai berdasarkan kinerja.

Hal penting yang menjadi perhatian dalam memberikan TKD adalah tidak membebani anggaran. Setelah melalui kajian dari Badan Keuangan Daerah, Badan Kepegawaian dan Sekretariat Provinsi Gorontalo maka pada tahun 2004 mulai diberlakukan TKD kepada seluruh pegawai termasuk yang berstatus honorer. Upaya untuk mengaitkan insentif dengan kinerja menjadi contoh bagaimana manajemen kewirausahaan dapat diterapkan dalam kehidupan birokrasi pemerintah di daerah. Pemberian insentif sebagai driving force untuk perubahan dalam birokrasi publik.

Sumber dana untuk membiayai tunjangan kinerja dilakukan dengan menghapuskan seluruh bentuk honor yang terdapat pada setiap kegiatan. Menghapus seluruh honor pada setiap kegiatan implementasinya tidak mudah. Keberhasilan Provinsi Gorontalo menerapkan tunjangan kinerja karena adanya political will pimpinan daerah yaitu gubernur, wakil gubernur, sekretaris daerah, dan seluruh jajarannya dalam bentuk melepaskan/mengiklaskan seluruh jenis honor yang diterima setiap bulan yang selanjutnya dana tersebut dibayarkan kepada seluruh pegawai dalam bentuk TKD. Keberhasilan penerapan TKD di Provinsi Gorontalo juga berkat adanya dukungan dari DPRD.

Dasar hukum penerapan TKD terdapat pada Pasal 29 Ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 105 tahun 2000 tentang pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan daerah selanjutnya dipertegas kembali melalui Pasal 36 Ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 58 tahun 2005 menyatakan pemerintah daerah dapat memberikan tambahan penghasilan kepada pegawai negeri sipil daerah berdasarkan pertimbangan yang objektif dengan memperhatikan kemampuan keuangan daerah dan memperoleh persetujuan DPRD. Tambahan penghasilan diberikan dalam rangka peningkatan kesejahteraan pegawai berdasarkan prestasi kerja, tempat bertugas, kondisi kerja, dan kelangkaan profesi.

Sejak diterapkan tunjangan kinerja sejak tahun 2004 sistem penilaian kinerja sudah masuk tahap keempat. Pada saat pertama kali diterapkan kinerja pegawai dinilai berdasarkan disiplin berdasarkan disiplin dengan unsur-unsur pengurangan sebagai berikut:

   1. Terlambat masuk kantor,
   2. Pulang lebih cepat ke rumah,
   3. Tidak masuk kerja,
   4. Meninggalkan tugas selama jam kerja tanpa izin,
   5. Tidak mengikuti kegiatan kenegaraan/rapat/senam bersama, dan
   6. Dikenakan sanksi sesuai PP 30 tahun 1980.

Masing-masing unsur pengurangan tersebut diberi bobot. Dengan sistem tersebut terhadap pegawai yang tidak melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada poin 1 sampai 6 kinerjanya 100%. Dengan sistem tersebut disiplin pegawai meningkat.

Pada tahap kedua yang mulai diterapkan tahun 2005 besarnya TKD untuk suatu masa kinerja dihitung atas dasar komponen disiplin dengan bobot 60% dan komponen pencapaian kinerja 40%. Unsur-unsur pengurangan disiplin tidak mengalami perubahan. Komponen pencapaian kinerja unsur-unsurnya terdiri dari:

   1. Pemahaman atas tufoksi,
   2. Inovasi,
   3. Kecepatan kerja,
   4. Keakuratan kerja, dan
   5. Kerja sama.


Tabel Penilaian Kerja Pada Komponen Pencapaian Kinerja

Mulai tahun 2006 nilai komponen pencapaian kinerja dinaikan menjadi 60% sehingga unsur disiplin tinggal 40%.


Pada akhir tahun 2007 dilakukan perubahan atas penilaian kinerja. Penilaian kinerja untuk status mas akinerja didasarkan pada komponen prestasi aksi dan prestasi hasil. Komponenprestasi aksi memiliki bobot 40% terdiri dari:

   1. Disiplin,
   2. Ketaatan terhadap peraturan,
   3. Tanggung jawab, dan
   4. Kerja sama.

Komponen prestasi hasil memiliki bobot 60% terdiri dari:

   1. Produktivitas,
   2. Efektivitas
   3. Efisiensi,
   4. Inovasi, dan
   5. Manfaat.

Penilaian atas masing-masing komponen tersebut menghasilkan skor prestasi sebagai berikut:

    * Skor prestasi A nilai 5,
    * Skor prestasi B nilai 4,
    * Skor prestasi C nilai 3,
    * Skor prestasi D nilai 2,
    * Skor prestasi E nilai 1.

Dengan penerapan sistem tersebut penilaian kinerja untuk satu masa kinerja dilakukan oleh:

   1. Atasan langsung bobot 50%,
   2. Dua orang rekan kerja masing-masing bobot 15%, dan
   3. Pegawai yang dinilai 20%.

Terakhir dengan dikeluarkannya PP Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Sipil dan dengan PP Nomor 46 tahun 2011 tentang Sasaran Kinerja Pegawai dan Kemudian yang menjadi induk dari kepegawaian itu sendiri yang bersumber dari UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, menekan kegiatan pegawai pada penerapan disiplin tingkat tinggi, yang dikelilingi dengan kontrak kerja yang harus menjadi sasaran dalam setiap bekerja dan dihitung akan keberhasilannya diakhir tahun.

0 komentar

PNS dan PEMILU


Pegawai Negeri Sipil sebagai unsur aparatur negara yang berkedudukan dan berperan sebagai abdi masyarakat, menyelenggarakan pelayanan secara adil dan baik kepada masyarakat, dengan dilandasi kesetiaan dan ketaatan kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Untuk dapat melaksanakan tugas dengan baik, maka pembinaan pegawai diarahkan untuk meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia agar memiliki sikap dan perilaku yang berintikan pengabdian, kejujuran, tanggungjawab, disiplin, serta wibawa sehingga dapat memberikan pelayanan sesuai tuntutan perkembangan masyarakat.

Eksistensi Pegawai Negeri Sipil dalam suatu negara sangat penting dalam menentukan keberhasilan negara kedepan, karena sebagai pelaksana dari berbagai kebijakan publik, kebijakan negara dalam mencapai tujuan nasional. Untuk itu dalam upaya mewujudkan tujuan nasional itu harus secara terstruktur dari Pemerintah Pusat sampai ke Pemerintah Daerah serta didukung oleh partisipasi dan peran aktif  serta kontrol dari masyarakat.

Pembinaan, untuk kondisi penyempurnaan aparatur pemerintah menuju reformasi birokrasi dan reformasi aparatur meliputi peningkatan kapabilitas, kemampuan, peningkatan pengabdian serta upaya menciptakan aparatur pemerintah yang bersih dan berwibawa, kreatif, berdaya guna dan berhasil guna diperlukan adanya aturan jelas yang membatasi setiap gerakan pegawai negeri sipil menuju hal yang dilarang dan menyeleweng.
Terlepas dari itu semua, satu hal yang dilupakan adalah soal keterlibatan pegawai negeri sipil dalam politik. Pegawai Negeri Sipil sebagai Aparatur Negara dan hanya melakukan pelayanan bagi masyarakat dituntut bersikap “netral” dalam setiap kegiatan Pemilu termasuk Pilkada. Dalam Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas UU Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian Pasal 3 telah mengatur hal-hal sebagai berikut :

(1) Pegawai Negeri berkedudukan sebagai aparatur negara yang bertugas untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat secara profesional, jujur, adil, dan merata dalam penyelenggaran tugas negara, pemerintahan dan pembangunan.

(2) Dalam kedudukan dan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Pegawai Negeri harus netral dari pengaruh semua golongan dan partai politik serta tidak diskriminatif dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.

(3) Untuk menjamin netralitas Pegawai Negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), Pegawai Negeri dilarang menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik.

Sementara itu larangan bagi PNS untuk memberikan dukungan atau sokongan politk namun harus bersikap netral dalam Pemilu termasuk Pilkada diatur dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 79 ayat (1) dan ayat 4 sebagai berikut :

(1) Dalam kampanye dilarang melibatkan :

a. Hakim pada semua peradilan;

b. Pejabat BUMN/BUMD;

c. Pejabat struktural dan fungsional dalam jabatan negeri;

d. Kepala desa.


(4) Pasangan calon dilarang melibatkan pegawai negeri sipil, anggota Tenatara Nasional Indonesia, dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai peserta kampanye dan juru kampanye dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah.

Selanjutnya dalam Pasal 80 secara lebih tegas menyatakan bahwa “Pejabat negara, pejabat struktural dan fungsional dalam jabatan negeri, dan kepala desa dilarang membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon selama masa kampanye”.

Penegasan tentang larangan bagi PNS memberi dukungan kepada Calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah baik gubernur,bupati maupun walikota dalam pemilihan kepala daerah ditegaskan kembali dalam PP nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil Pasal 4 angka 15 sebagai berikut : “Setiap PNS dilarang angka 15 ‘memberikan dukungan kepada calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah, dengan cara:

a. Terlibat dalam kegiatan kampanye untuk mendukung calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah;

b. Menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatan dalam kegiatan kampanye;

c. Membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon selama masa kampanye; dan/atau

d. Mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap pasangan calon yang menjadi peserta pemilu sebelum, selama, dan sesudah masa kampanye meliputi pertemuan, ajakan, himbauan, seruan, atau pemberian barang kepada PNS dalam lingkungan unit kerjanya, anggota keluarga, dan masyarakat.

Sudah jelas aturan tentang larangan bagi pegawai negeri sipil untuk terlibat dalam kegiatan politik, namun masih saja hal itu tidak berlakuk bagi banyak pegawai negeri sipil di Indonesia. Dampak dari keterlibatan pegawai negeri sipil sangatlah besar. Terutama bagi pola pikir bagi PNS. tampak sekali perubahan arah orientasi kerja kepada pelayanan masyarakat menjadi berorientasi kepada kekuasaan dan penghasilan.Sebagai sebuah persembahan dan sesajen bagi banyak PNS saat ini ketika mereka turut melakukan dukungan politk terhadap calon kepala daerah dalam sebuah PILKADA.

Berapa banyak dana yang digelontorkan dalam PILKADA, mengorbankan kegiatan-kegiatan yang seharusnya dilaksanakan. Berapa banyak PNS yang di Non-Job kan akibat tidak mendukung salah satu calon dalam PILKADA. apakah hal-hal seperti ini yang kita harapkan.
Banyak PNS yang berkompeten diasingkan, tidak diberdayakan, akibat ketidak ikutsertaan dalam PILKADA, sangat disayangkan.
Sebaiknya kedepan, PNS tidak lagi memiliki suara dalam PEMILU dan bebas dari kegiatan PEMILU
0 komentar

Budaya Aparatur Pemerintah

Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki secara bersama oleh suatu kelompok orang dan diturunkan secara terus menerus dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur kompleks, termasuk didalamnya sistem agama, adat istiadat, bahasa, perabotan, pakaian, bangunan, dan karya seni. Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh yang bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-unsur sosio-budaya ini tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia.

Budaya sebagai hasil karya, cipta dan rasa manusia dalam perjalanan sejarahnya dimulai dari yang paling sederhana, berkembang dan maju terus setahap demi setahap sampai pada yang kompleks dan maju. Budaya bertambah maju secara akumulatif, baik mutunya yang semakin meningkat, atau budaya yang berkembang dari keadaan sebelumnya.

Sistem dan nilai yang tergambar di dalam budaya adalah hubungan antar individu didalamnya. Budaya sangat berpengaruh besar pada pola sikap, pola pikir dan pola tindak antar individu didalamnya. Konsisi ini juga tergambar pada budaya dalam lingkungan aparatur Pemerintah yang memikul tanggung jawab melaksanakan tugas-tugas bersama, berkumpul dan bekerja pada suatu lingkungan kerja yang memiliki legalitas dan arah tujuan yang jelas.

BUDAYA APARATUR PEMERINTAH

Dilingkungan aparatur pemerintah diharapkan mampu menciptakan dan menegmbangkan sistem nilai berupa nilai-nilai kebangsaan dan kebiasaan hidup didalam dan diluar lingkungan kerja sebagai unsur aparatur pemerintah maupun sebagai anggota masyarakat. Aparatur Pemerintah harus memiliki suatu sikap mental bangsa yang tercermin dalam perbuatan atau tingkah laku berupa kepatuhan dan ketaatan, baik secara sadar maupun melalui pembinaan terhadap norma-norma kehidupan yang berlaku dengan keyakinan bahwa dengan norma-norma tersebut tujuan nasional dapat dicapai yang telah disusun dalam peraturan-peraturan yang legitimet.

Dengan kata lain eksistensi nilai-nilai kebangsaan dalam kepatuhan dan ketaatan terhadap aspirasi dan cita-cita nasional, ideologi negara dan UUD 1945 serta peraturan perundang-undangan lainnya yang merupakan juga tanggung jawab social yang dileaderi oleh aparatur pemerintah.

Didalam kepatuhan dan ketaatan itu secara kongkret berarti adanya kesediaan untuk mematuhi, menghormati dan adanya kemampuan melaksanakan suatu sistem nilai yang mengharuskan seseorang tunduk pada putusan, perintah atau peraturan yang berlaku dimasyarakat khususnya dilingkungan kerja masing-masing. Dengan kata lain bahwa budaya tersebut tidak mungkin terwujud tanpa disiplin pribadi dalam kebiasaan pada kehiduppan sehari-hari yang melekat pada diri, yang melekat pada diri para apartur pemerintah secara perseorangan dan sistim..

Beberapa aspek budaya yang mempengaruhi kelancaran pelaksanaan tugas bagi aparatur pemerintah yang mengakibatkan tidak berjalan dengan efektif dan efisien diantaranya:

1. Budaya paternalisme yaitu sikap yang terlalu berorientasi keatas, akibatnya bawahan bekerja lebih menyenangi menunggu perintah dari atasan, sedangkan kreativitas, inisiatif berkurang bahkan cenderung dimatikan. Budaya ini perlu dikurangi agar tidak berkelebihan yaitu dengan cara sebagai berikut:
Pemimpin perlu mengembangkan pola proses pengambilan keputusan bersama (group decision process) tanpa mengurangi wewenangnya dalam mengambil keputusan.
Bila perlu pengarahan dikurangi dan diganti dengan pola pemecahan masalah (problem solving oriented) sehingga setiap petugas merasa ikut bertanggung jawab pada setiap masalah organisasi/unit kerjanya.

2. Budaya manajemen tertutup, yang artinya bahwa pemimpin merasa sebagai penguasa seutuhnya organisasi yang dipimpinnnya yang tidak perlu mengikutsertakan bawahannya, sehingga timbul sikap saling curiga mencurigai, saling tidak percaya, dan prasangka yang kurang menguntungkan dan lain-lain. yang berakibat organisasi pemerintah yang berjalan dengan kaku..

3. Budaya mangkir dalam jam kerja, kurang mampu membedakan jam kerja dan jam dinas, urusan pribadi dan urusan kedinasan. Untuk itu disiplin kerja dan disiplin waktu perlu dibina dan ditingkatkan, dengan mengurangi kebiasaan yang tidak tepat pada jam kerja. banyak hal diantara yang menjadi penyebab salah satu nya bahwa tidak adanya kejelasan dan pemahaman yang baik terhadap TUPOKSI jabatan dan SOP pelayanan pemerintahan.

4. Budaya atau kebiasaan memberikan terlalu banyak pekerjaan dan tanggung jawab kepada seseorang yang aktif dan berprestasi dan kurang percaya terhadap yang belum memperoleh kesempatan untuk aktif dan berprestasi. Pekerjaan tidak mempedomani alur tugas yang jelas, hanya mengedepankan factor kedekatan individu.

5. Budaya system famili dan koneksi yang dilingkungan aparatur pemerintah mengakibatkan pengangkatan pegawai dan pembinaan karier kurang memperhatikan profesionalisme dan prestasi. Budaya ini ditunjang lagi oleh kebiasaan berupa kecenderungan pilih kasih (like and dislike) dalam pembinaan dan pengembangan karier dan penempatan seorang pegawai. Kondisi ini harus segera ditiadakan mengingat semakin pesatnya, perkembangan ilmu dan teknologi yang memerlukan personil yang berkualitas dilingkungan aparatur pemerintah. Organisasi Pemerintah saat ini bukan lagi butuh pegawai secara kuantitas, namun butuh pegawai secara kualitas, pegawai yang mampu bekerja dengan baik, siap bertanggungjawab dan berdedikasi tinggi atas kemajuan organisasi pemerintah tersebut.

6. Budaya asal bapak senang (ABS) yaitu budaya didalam memberikan informasi/laporan kepada pimpinan dengan penuh rekayasa hal demikian dilakukan buasanya untuk menutupi kekurangan/kelemahan atau kegagalan dalam bekerja, tetapi juga karena rasa takut pada pimpinan dan sifat senang dipuji atau rasa kurang senang dikoreksi oleh atasannya. Budaya ini akan berakibat mempersulit pelaksanaan pengawasan dan pembinaan dan bimbingan dalam upaya untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas kerja.

7. Budaya tidak senang diperiksa karena pengawasan cenderung bersifat mencari-cari kesalahan. Pengawasan hendaknya dikembangkan sebagai usaha membantu pihak yang diawasai untuk menyadari kekurangan dan kelemahannya disertai dorongan untuk memperbaiki melalui usaha sendiri. Setiap aparatur pemerintah hendaknya menyadari bahwa kegiatan pengawasan adalah pekerjaan yang rutin dan wajar yang tidak perlu ditakuti, perasaan takut dan tidak menyukai pengawasan itu hanya dapat dihindari jika setiap aparatur pemerintah mengembangkan kebiasaan bekerja sesuai dengan ketentuan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, berani karena benar takut karena salah.

Masih banyak budaya yang tersirat dalam adat istiadat, kebiasaan, hubungan kemasyarakatan dan lain-lain yang ternyata sangat besar pengaruhnya terhadap pelaksanaan kegiatan-kegiatan aparatur pemerintah.
0 komentar

Reformasi Birokrasi (Part 1)

Reformasi Birokrasi akan berdampak pada perubahan yang sangat signifikan terhadap lempeng-lempeng birokrasi yang mencakup kepada lemabag itu sendiri, sumber daya manusia dan aparatur didalamnya, ketatalaksanaan, akuntabilitas, control dan pengawasan, serta tujuan dari penyelenggaraan birokrasi itu sendiri yaitu pelayanan publik. Perubahan tersebut dilakukan untuk melaksanakan peran dan fungsi birokrasi secara tepat, cepat dan konsisten, guna menghasilkan manfaat sesuai diamanatkan dalam undang-undang. lebih jauh lagi berharap bahwa Reformasi Birokrasi harus diarahkan menuju perubahan yang lebih baik, dan kapan perlu menuju kesempurnaan sebagai sebuah cerminan yang bertolak belakang dengan Birokrasi masa lalu yang faktanya peran birokrasi saat itu sangat bobrok, arogan dan korup dan sangat jauh dari harapan.

Kenyataan ini, sesungguhnya menunjukan bagaimana dahulu Birokrasi Indonesia sangat tidak ideal, permusyawaratan satu warna, dan lain sebagainya yang kemudian disadarkan dengan kejatuhan Negara akibat dari akumulasi kebobrokannya yang berlatarbelakang korupsi.

Dalam kehidupan sebuah negara yang merdeka dan berdaulat, birokrasi mempunyai peranan untuk mampu mengemban misi, menjalankan fungsi-fungsi kelembagaan, melaksanakan semua aktivitas yang menjadi tanggung jawabnya di dalam negara,dengan tingkat efisiensi dan efektifitas yang semaksimal mungkin disertai dengan orientasi pelayanan dan bukan orientasi kekuasaan.

Jalannya Birokrasi tidak dapat dilepaskan dari kekuasaan. Sangat besar pengaruh kekuasaan dan politik sehingga mengakibatkan birokrasi itu sendiri tidak berjalan dengan baik dan profesional dan malahan mandul. Birokrasi dengan budaya organisasi yang dibangun didalamnya, cenderung lebih sibuk melayani sang penguasa, memperkaya dan memuja penguasa dan jauh dari menjalankan fungsi-fungsi utamanya sebagai pelayan masyarakat.

Ujung tombak Birokrasi adalah pelayanan dan dalam pelayanan publik, telah banyak diciptakan metode-metode pelayanan yang menjadi standar pelayanan publik, yang dalam metode-metode tersebut sangat mengharapkan pelayanan terhadap public dapat dilakukan dengan cepat, tepat, murah dan transparan, namun masih saja hal itu belum dapat terwujud. Upaya tersebut belum banyak dinikmati masyarakat, dikarenakan pelaksanaan sistem dan prosedur pelayanannya kurang efektif, efesien, berbelit-belit, lamban, tidak merespons kepentingan pelanggan/masyarakat yang ditimpakan kepada birokrasi. Semua ini merupakan cerminan bahwa kondisi birokrasi dewasa ini dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, masih belum sesuai dengan harapan dan keinginan masyarakat.

Ketidakpuasan terhadap kinerja pelayanan publik, dapat dilihat dari keengganan masyarakat berhubungan dengan birokrasi pemerintah atau dengan kata lain adanya kesan untuk sejauh mungkin menghindari birokrasi pemerintah. Fenomena kurang responsif, kurang informatif, kurang koordinasi, tidak mau mendengar keluhan/saran/aspirasi masyarakat inefesiensi dan birokratis, merupakan kondisi pelayanan publik yang dirasakan oleh masyarakat selama ini. Hal ini disebabkan karena masih banyaknya peran Kementerian/Lembaga yang tumpang tindih, pemerintah yang dirasakan masih sentralistik, kurangnya infrastruktur, masih menguatnya budaya dilayani bukan melayani, transparansi biaya dan prosedur pelayanan yang belum jelas, serta sistem insentif/penghargaan dan sanksi belum maksimal.
0 komentar

Eksistensi Pemerintahan Nagari Bukan Pembangkang Otonomi Daerah


Sampai dengan tahun 1979 pemerintahan terendah di Sumatera Barat adalah nagari, dimana dalam historinya pemerintahan nagari telah ada sebelum kemerdekaan Indonesia. Dengan diberlakukannya Undang-undang nomor 5 tahun 1979 tentang pemerintahan desa, status nagari dihilangkan diganti dengan desa, dan beberapa jorong kemudian ditingkatkan statusnya menjadi desa. Kedudukan wali nagari juga dihapus dan administrasi pemerintahan dijalankan oleh para kepala desa. Namun sejak bergulirnya reformasi pemerintahan sehingga merubah arah pemerintahan menuju otonomi daerah, maka sejak pada tahun 2001, istilah "Nagari" kembali dimunculkan kepermukaan dan digunakan di provinsi Sumatera Barat.

Nagari pada awalnya dipimpin secara bersama oleh para penghulu atau datuk disebuah nagari, kemudian pada masa pemerintah Hindia-Belanda dipilih salah seorang dari para penghulu tersebut untuk menjadi wali nagari. Dalam menjalankan pemerintahannya, wali nagari dibantu oleh beberapa orang kepala jorong atau wali jorong, namun sekarang dibantu oleh sekretaris nagari (setnag) dan beberapa orang pegawai yang dapat saja berstatus pegawai negeri sipil (PNS) atau pegawai kontrak/honor yang bergantung dengan kebutuhan dan kemampuan masing-masing nagari tersebut. Wali nagari ini dipilih oleh anak nagari (penduduk nagari/masyarakat nagari) secara demokratis dalam pemilihan langsung untuk masa jabatan yang telah ditentukan. 

Dalam sebuah nagari dibentuk Kerapatan Adat Nagari, yakni lembaga yang beranggotakan Tungku Tigo Sajarangan yang merupakan perwakilan dari anak nagari yang terdiri dari Alim Ulama, Cadiak Pandai (kaum intelektual/terpelajar) dan Niniak Mamak para pemimpin suku dalam suatu nagari, sama dengan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dalam sistem administrasi desa terdahulu. Keputusan keputusan penting yang akan diambil selalu dimusyawarahkan antara wali nagari dan Tungku Tigo Sajarangan di Balai Adat atau Balairung Sari Nagari.

Wali nagari dipilih oleh masyarakat dan untuk bekerja sama dengan masyarakat, itulah salah satu amanah dari Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2007 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Nagari. Pemerintahan Nagari sebagai Pemerintahan terendah menjadi ujung tombak dan perpanjangan tangan dari pemerintahan Kabupaten. Pemerintahan Nagari yang digawangi oleh seolah pejabat yang dipilih langsung oleh masyarakatnya juga turut mensukseskan daerah dan masyarakatnya melalui program-program dan kegiatan dari pemerintahan diatasnya.

Pemerintahan nagari merupakan suatu struktur pemerintahan yang otonom, punya teritorial yang jelas dan menganut dan merujuk kepada adat sebagai pengatur tata kehidupan anggotanya, sistem ini kemudian disesuaikan dengan konstitusi yang berlaku di Indonesia, sekarang pemerintah provinsi Sumatera Barat menetapakan pemerintah nagari sebagai pengelola otonomi daerah terendah untuk daerah kabupaten mengantikan istilah pemerintah desa yang digunakan sebelumnya. Sedangkan untuk nagari yang berada pada sistem pemerintahan kota masih sebagai lembaga adat belum menjadi bagian dari struktur pemerintahan daerah.

Otonom tidak dapat ditafsirkan sepenuhnya karena sesuai pasal 4 BAB III peraturan ini bahwa keotonomannya tidak disamakan dengan Pemerintahan diatasnya, karena Pemerintahan Nagari diserahi urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Kabupaten/Kota. Selain itu, Pemerintahan Nagari diserahi tugas pembantuan dan urusan Pemerintahan lainnya dari Pemerintah, Pemerintah Propinsi dan atau Pemerintah Kabupaten/Kota.

Pemerintah nagari mempunyai peran yang sangat penting dan strategis dalam pelaksanaan pembangunan yang bermuara kepada peningkatan ekonomi dan kesejahtraan rakyat. Untuk itu, Pemerintahan Nagari bekerja sejalan dengan arah kebijakan pemerintah diatasnya. Pemerintahan Nagari tidak seharusnya menjadikan keotonomannya menjadi kerajaan baru yang membuat warna berbeda, ranting rapuh dari Pemerintahan Kabupaten.

Seiring dengan perkembangannya saat ini Pemerintahan Nagari yang telah menjadi ukuran dari maju mundurnya sebuah pemerintahan daerah. Pemerintahan nagari menjadi ujung tombak pelayanan masyarakat, menjangkau sampai ke seluruh pelosok sehingga mempersingkat birokrasi.


Walinagari harus mengetahui segala permasalahan yang dihadapi masyarakat, pemerintahan nagari juga harus mampu membaca kebutuhan rakyat dibidang pembangunan yang bisa dipenuhi. yang tidak kalah pentingnya, walinagari juga merupakan perpanjangan tangan pemerintahan yang lebih tinggi dalam mengambil kebijakan pada penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di tengah masyarakat.

Berkaitan dengan itu, walinagari selaku seorang pemimpin yang didahulukan selangkah, ditinggikan seranting yang dipilih langsung oleh masyarakat, sangat menentukan keberhasilan pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan.

Karena begitu beratnya tugas dan tanggungjawab yang dipikul, walinagari harus berupaya meningkatan pengetahuan dan wawasan, supaya mampu melaksanakan kepercayaan dan amanah yang diberikan rakyat dengan segenap kesanggupan dan kemampuan.

Sementara masyarakat diimbau merapatkan barisan dan menciptakan hubungan silaturrahim yang lebih harmonis. Karena dengan persatuan dan kesatuan yang kokoh serta kekompakan yang terjalin erat, tidak ada yang tidak bisa dikerjakan.

Disamping merapatkan barisan, masyarakat juga diimbau berperan aktif dalam peningkatan sumber daya manusia dan pengentasan kemiskinan, permasalahan kesehatan karena kedua hal itu merupakan permasalahan pokok yang sedang dihadapi dewasa ini
0 komentar
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. basari.news - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger